Rumah

Kata orang hidup merupakan suatu perjalanan. Perjalanan tumbuh dari kecil hingga besar, mulai dari merangkak hingga bisa melompat. Perjalanan menuju suatu kedewasaan, perubahan yang besar dari yang awalnya hanya bisa meminta ini-itu menjadi memberikan segalanya. Perjalanan yang sepenuhnya diisi dengan pelajaran yang dapat datang dari berbagai sumber, entah formal, namun kebanyakan non formal. Bisa jadi pertemuan dengan orang tidak terduga, berawal dari obrolan basa-basi di kereta yang berujung pada pembicaraan akan hal-hal menyangkut rasa syukur. Bisa juga sebuah pengalaman yang diceritakan oleh teman ataupun yang kita alami dengan sendirinya, entah itu pengalaman baik maupun buruk. Semuanya merupakan sebuah pelajaran.

Namun satu hal yang kuyakin, sebuah perjalanan ini pasti akan berujung pada satu titik, yaitu rumah. Orang bilang rumah merupakan tempat teraman dan ternyaman. Tapi tak banyak orang yang enggan pulang ke rumah, karena ternyata bagi mereka rumah adalah tempat dimana ia merasa terbuang dan tidak berguna. Rumah adalah tempat paling terakhir yang ingin mereka kunjungi, bagi mereka tempat yang disusun oleh ratusan bata tersebut merupakan tempat yang paling mengerikan dimana sosok yang seharusnya mengasihi bisa menjadi monster pemukul di bawah pengaruh ego.

Bagiku rumah bukan hanya merupakan ruang yang dibentuk untuk menjadi tempat tinggal, tapi bagaimana aku dapat merasakan perasaan yang disebut-sebut oleh orang-orang barusan. Bagaimana aku dapat merasa aman, nyaman, dan tak lupa bahagia menjadi diriku sendiri. Rumah bukan selalu tentang tempat, tapi bisa juga seseorang. Dan ditengah hiruk-pikuk tentang segala perjalanan hidup, aku yakin seseorang telah ditakdirkan menjadi rumahku. Ia mungkin hanya orang biasa yang hidupnya juga biasa saja namun bisa menjadi luar biasa ketika ia bisa menjadi rumahku. Dan itulah satu-satunya yang bisa membuatku bertahan. Bertahan menghadapi segala persoalan yang datang bertubi-tubi, seakan-akan satu masalah tidak cukup sehingga ia harus datang silih berganti. Bertahan menghadapi badai, terpaan akan realita yang kerap menampar bersamaan dengan derai hujan akan ekspektasi orang lain terhadap diri. Bertahan menghadapi hidup, yang kata orang merupakan sebuah perjalanan.

Satu waktu aku harus menjaga sikap, pertemuan keluarga besar membuatku harus memakai setelah jas dengan dasi kupu-kupu yang super menyesakkan. Ditambah dengan kumpulan kerabat yang silih berganti menyapa dan aku harus menyalami mereka satu persatu, menampilkan senyum manis dibalik suasana hati yang ribut. Mendengar ocehan para bibi yang saling berlomba-lomba membanggakan anak mereka seakan-akan anak mereka lah yang terbaik, padahal dibalik semua itu mereka tidak tahu betapa stress dan tertekannya anak mereka, bahkan satu ada yang mulai menarik diri dari pergaulan. Mendengar ocehan para paman akan hebatnya keluarga mereka, atau pembicaraan mengenai saham tertinggi. Seakan-akan semuanya sempurna, seakan-akan hidupnya tidak ada cacat. Padahal dibalik semua bualan-bualan yang mereka katakan saat itu, mereka hanya merasa tidak percaya diri.

Satu waktu aku harus mengisi acara, bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain untuk berdiri di atas panggung menyanyikan lagu yang sebenarnya merupakan curahan hatiku akan pahitnya hidup. Memetik gitarku yang telah menemani selama lebih dari tujuh tahun dan mengeluarkan melodi yang harmonis dengan suaraku. Beberapa orang berteriak histeris, beberapa orang ikut bernyanyi. Setelahnya, aku mendengar tepuk tangan dari berbagai sudut, semacam tanda untukku segera turun dari panggung menuju ruang khusus. Tidak berhenti disitu, orang-orang kerap datang untuk menyalamiku, memberikan ucapan selamat karena lagi-lagi aku berhasil. Lagi-lagi aku melakukannya dengan sangat baik. Aku membalas mereka seperlunya, mereka tidak perlu tahu betapa letihnya segala persiapan yang harus kulakukan demi satu kali naik panggung. Mereka hanya datang sekali dua kali dan mengatakan hal-hal yang lagi-lagi, seperlunya.

Satu waktu aku berdiam diri di kamarku. Lelah dengan bisingnya dunia. Lelah dengan orang-orang yang saling berteriak, saling menyahut akan hal-hal yang tidak bertaut secara bersamaan. Lelah dengan lampu sorot berbagai macam warna yang mengarah ke diri. Lelah dengan tatapan orang-orang yang dirasa selalu tertuju padaku, meski sebenarnya mereka tidak pernah melihat, atau hanya berpura-pura. Lelah dengan segalanya dan menginginkan sepi. Aku menginginkan beberapa momen untuk diriku sendiri. Mematikan lampu kamar dan membuka tirai jendela untuk melihat lampu-lampu kota metropolitan yang tidak pernah tidur. Merindukan konstelasi bintang dan segala fenomena langit di atas namun terhalang oleh pijaran cahaya buatan yang terpapar. Kembali memutar balik dan menengok ke belakang atas hal-hal yang telah kulakukan selama ini, kemudian selalu muncul pertanyaan-pertanyaan akan mengapa. Mengapa aku melakukan semuanya, mengapa aku berusaha sekeras mungkin sampai pada titik menyusahkan diri, mengapa aku ada disini, di titik ini, sekarang. Lalu kembali ingat akan rumah.

Kata orang hidup adalah suatu perjalanan, yang juga kuyakin, sejauh apapun kita melakukan perjalanan pasti akan kembali ke rumah. Hal-hal yang makin terbuktikan ketika akhirnya aku bertemu denganmu, satu-satunya orang yang ingin kutemui ketika aku pulang. Rumahku.

 

 

 

Selene,
Februari 2019

Leave a comment