Katanya, jiwa orang-orang mati terbang ke langit dan berubah menjadi bintang.
Aku tertawa saat pertama kali mendengar hal ini, seolah-olah pendidikan agama yang sudah dienyam sejak umur empat tahun tidak berarti apa-apa. Kemudian aku termenung, sadar kalau hal-hal yang kabur ini memiliki posibilitas untuk terjadi. Jadilah skeptis sampai semuanya terbukti, orang bilang begitu. Namun kali ini bagiku, jadilah terbuka kalau semua hal itu mungkin, sampai bisa dibuktikan kalau itu tidak.
Tapi tidak ada bintang malam ini. Tidak di langit. Tidak pula di bumi. Sementara netraku hanya disuguhi dengan langit-langit kamar yang berwarna putih. Ada sarang laba-laba di salah satu sudut, yang urung kubersihkan sebab terlalu tinggi. Tidak bisa digapai. Selaras dengan mimpi-mimpi yang pernah kucoba rajut.
Malam ini gelap. Kamar ini gelap. Ingin sekali aku berharap bintang mau menunjukkan batang hidungnya. Lantas sadar kalau bintang hanyalah kumpulan debu-debu luar angkasa yang kebetulan memiliki energi berlebih. Yang juga, naasnya, akan mati ketika energi yang sering kita lihat sebagai kelap-kelip itu habis.
Kemudian menjadi tidak berguna lagi.
Mungkin umpama jiwa orang mati berubah menjadi bintang hanyalah omong kosong belaka. Dimana ada orang yang sudah mati, akan mati lagi?
Ah iya, aku berkali-kali mati. Namun bisa bernapas lagi.
Tidak ada bintang malam ini, kemarin, besok, dan malam selanjutnya sampai entah kapan. Tidak ada kelap-kelip di langit, di jalanan, di rumah-rumah. Yang ada hanya gelap, dan kegelapan menelanku mentah-mentah. Rasanya seperti tengah mengambang, alih-alih di antara kubangan air yang masif, aku berada dalam ruang non-gravitasi. Aku tidak bisa melihat apapun. Semuanya gelap. Semuanya mengambang.
Sampai aku memutuskan untuk menutup mata.
Lagi-lagi satu malam berlalu begitu saja.