Lost stars | Luruh #1

Katanya, jiwa orang-orang mati terbang ke langit dan berubah menjadi bintang.

Aku tertawa saat pertama kali mendengar hal ini, seolah-olah pendidikan agama yang sudah dienyam sejak umur empat tahun tidak berarti apa-apa. Kemudian aku termenung, sadar kalau hal-hal yang kabur ini memiliki posibilitas untuk terjadi. Jadilah skeptis sampai semuanya terbukti, orang bilang begitu. Namun kali ini bagiku, jadilah terbuka kalau semua hal itu mungkin, sampai bisa dibuktikan kalau itu tidak.

Tapi tidak ada bintang malam ini. Tidak di langit. Tidak pula di bumi. Sementara netraku hanya disuguhi dengan langit-langit kamar yang berwarna putih. Ada sarang laba-laba di salah satu sudut, yang urung kubersihkan sebab terlalu tinggi. Tidak bisa digapai. Selaras dengan mimpi-mimpi yang pernah kucoba rajut.

Malam ini gelap. Kamar ini gelap. Ingin sekali aku berharap bintang mau menunjukkan batang hidungnya. Lantas sadar kalau bintang hanyalah kumpulan debu-debu luar angkasa yang kebetulan memiliki energi berlebih. Yang juga, naasnya, akan mati ketika energi yang sering kita lihat sebagai kelap-kelip itu habis.

Kemudian menjadi tidak berguna lagi.

Mungkin umpama jiwa orang mati berubah menjadi bintang hanyalah omong kosong belaka. Dimana ada orang yang sudah mati, akan mati lagi?

Ah iya, aku berkali-kali mati. Namun bisa bernapas lagi.

Tidak ada bintang malam ini, kemarin, besok, dan malam selanjutnya sampai entah kapan. Tidak ada kelap-kelip di langit, di jalanan, di rumah-rumah. Yang ada hanya gelap, dan kegelapan menelanku mentah-mentah. Rasanya seperti tengah mengambang, alih-alih di antara kubangan air yang masif, aku berada dalam ruang non-gravitasi. Aku tidak bisa melihat apapun. Semuanya gelap. Semuanya mengambang.

Sampai aku memutuskan untuk menutup mata.

Lagi-lagi satu malam berlalu begitu saja.

Refrain: Outro

ㅡ Outro

Pada akhirnya,

Hujan yang semula deras akan perlahan reda

Angin yang sempat berhembus akan mengucap jumpa

Dan kepala yang diselimuti kegelapan kini menunjukkan setitik cahaya

Bersabarlah,

Semauanya akan baik-baik saja

Pada akhirnya.

Setelah beberapa kali mendengarkan penjelasan dokter Sani, Rai perlahan mulai menemukan kembali rasa percaya pada orang lain. Entah karena dokter Sani yang cukup profesional atau karena memang sifat dasar yang dimiliki oleh perempuan paruh baya tersebut, intinya, Rai kini bisa kembali berinteraksi dengan orang lagi.

Perlahan-lahan memorinya mulai kembali berfungsi, layaknya pita kaset kusut yang berhasil dibenarkan dan digulung rapi. Kini kaset tersebut sudah kembali masuk ke dalam tape dan bisa kembali diputar. Mulai dari perawat yang memang ditugaskan untuk selalu datang ke ruangan Rai. Entah sekedar untuk mengecek keadaan Rai atau memberikan obat. Juga petugas rumah sakit yang rajin datang untuk memberi makan tepat waktu, atau petugas kebersihan yang kerap mengganti selimut maupun sprei ranjang milik Rai. Semuanya, semuanya terekam dengan baik sampai akhirnya Rai dapat melakukan percakapan seperti biasanya dengan orang-orang tersebut.

Continue reading “Refrain: Outro”

Refrain: Last Chorus

ㅡ Last Chorus

Bahkan Dokter Sani cukup terkejut melihat eskpresi serta bahasa tubuh yang dikeluarkan oleh Rai. Perempuan yang lebih muda terlihat jelas seperti sedang menunggu kehadirannya. Alih-alih bertanya, perempuan paruh baya tersebut melemparkan senyum, kemudian dibalas dengan ekspresi yang sama oleh Rai. Bersamaan dengan tubuhnya yang duduk di kursi seberang tempat tidur milik Rai, Dokter Sani lantas mengajukan pertanyaan yang sama seperti sesi sebelumnya, “Gimana kabarnya Rai hari ini?”

Bukan menjawab pertanyaan yang diutarakan lawan bicaranya, Rai malah balik bertanya, “saya semalem mimpi aneh, dok. Dokter mau dengar cerita mimpi saya nggak?”

“boleh, kalau Rai nggak keberatan.”

Continue reading “Refrain: Last Chorus”

Refrain: Bridge

ㅡ Bridge

Kali ini Rai tahu kalau ia tengah bermimpi sejak pertama kali ia membuka matanya dalam latar bunga tidur yang ia ciptakan. Atau mungkin sejak ia menapakkan kakinya pada satu permukaan keras nan lembab karena tahu-tahu Rai kini tengah berada dalam terowongan panjang nan gelap. Rai yang pada awalnya hanya melangkah kini membawa tungkainya berjalan lebih cepat dengan langkah yang lebih lebar dari biasanya. Ia berlari dan terus belari, entah karena apa, entah menghindari apa, yang pasti sekarang ia mengharapkan kalau di ujung sana akan ada setitik cahaya yang dapat membuatnya keluar dari kegelapan tak berujung ini.

Benar saja.

Dari kejauhan Rai dapat melihat cahaya yang semula berukuran kecil lantas lama-kelamaan membesar sering dengan laju tungkai yang Rai bawa. Namun alih-alih kebebasan yang ia damba-dambakan, Rai malah mendapati dirinya masuk ke dalam ruangan yang terlampau familiar.

Continue reading “Refrain: Bridge”

Refrain: Chorus

ㅡ Chorus

Lagi-lagi Rai menemukan dirinya terhanyut dalam bunga tidur yang tidak sengaja ia ciptakan. Seperti sebelum-sebelumnya, Rai akan mengalami beberapa adegan yang random dengan perubahan signifikan secara tiba-tiba. Kali ini Rai sadar kalau ia tengah bermimpi saat ia sudah berganti latar sebanyak empat kali. Empat kali perubahan tiba-tiba yang terjadi di sekitarnya dan Rai baru sadar ketika seseorang dari masa lalunya menunjukan batang hidungnya, seseorang yang kini bahkan enggan untuk bertegur sapa kiranya muncul dan mengjak Rai untuk pergi.

Setengah mendengus menanggapi ucapan lawan bicaranya, laki-laki jangkung dengan perawakan tegas tersebut malah menyunggingkan senyum dan meraih sebelah tangan Rai untuk mengikuti langkahnya. Hal yang membuat Rai sadar kalau ia kini tengah bermimpi adalah genggaman laki-laki itu tidak menghasilkan rasa hangat yang biasanya muncul ketika dua insan tengah berpegangan tangan. Tangannya terasa kosong seolah-olah Rai tengah menggenggam kehampaan.

Continue reading “Refrain: Chorus”