Play: Epilogue

Kay melihat tangannya yang berada dalam genggaman Sam. Tangan kecil Kay yang sangat pas berlindung di balik tangan lebar milik Sam. Mereka berdua tengah duduk di taman yang terletak di pusat kota. Taman tersebut tidak terlalu ramai dikunjungi meskipun musim semi sudah mulai menyapa, mungkin karena mereka berkunjung di malam hari sehingga orang-orang lebih memilih bergelung dengan selimut mereka daripada harus keluar.

Sam dan Kay sedang duduk menikmati musik yang secara random diputar dari ponsel milik Sam. Beralaskan kain usang milik Kay, mereka berdua sudah menghabiskan sandwich yang dibeli dari toko roti terdekat dan beberapa kue kering yang dibawa oleh Kay. Dua kaleng soda dan satu botol air mineral masih tersisa namun mereka tidak ada niat untuk menghabiskannya. Sebuah kencan yang tidak direncanakan terjadi ketika Sam dengan tiba-tiba muncul di depan kantor Kay dan menjemputnya.

Continue reading “Play: Epilogue”

Play: But Are We All?

#track10

 

 

Ini adalah perjalanan terlama yang pernah Kay rasakan. Setelah beberapa detik mengumpulkan kesadaran lalu seperti orang gila mondar-mandir di dalam rumah untuk mengambil barang-barang yang harus dibawanya, Kay akhirnya naik ke atas bus dan duduk di kursi penumpang menuju Kota. Beruntung hujan telah mereda, meninggalkan gerimis rintik-rintik yang membuatmu ingin kembali tidur dan bergelung di bawah selimut dan menyeruput coklat panas. Kay meninggalkan secarik kertas, sebuah pesan untuk kedua orang tuanya karena Kay tidak dapat menelpon mereka, satu karena ia tidak bisa menjelaskan atas apa yang ia lakukan, dua karena orang tuanya hanya akan memperlambat laju Kay dengan bertanya ini-itu sampai mereka merasa puas.

Kay hanya membawa tas berisi dompet, jaket, dan kunci dorm, karena memang sepertinya ia tidak akan bisa langsung kembali pulang ke rumah malam itu juga. Berkali-kali ia melihat keluar jendela, langit yang begitu menggelap dan diterangi oleh lampu-lampu jalan yang menjulang tinggi. Ini baru setengah perjalanan menuju Kota dan ponselnya menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh delapan. Kay berdoa dalam hati, ia hanya bisa berharap kalau semuanya sempat, semoga.

Continue reading “Play: But Are We All?”

Play: Side A

#track9

Shall I write it in a letter?

Shall I try to get it down?

Oh, you fill my head with pieces

Of a song I can’t get out

 

 

Hari ini merupakan hari terakhir di minggu ujian, hari terakhir dimana ia menghabiskan setiap malam hanya tidur dua sampai tiga jam, atau bahkan tidak tidur sama sekali demi mengerjakan laporan yang menjadi syarat untuk ikut ujian esok harinya. Kay memakai masker dan dan menguncir satu rambut panjangnya tinggi-tinggi. Ia mengenakan kaus lengan pendek dipadukan dengan jaket denim warna pink serta ripped-jeans favoritnya. Kali ini ia tidak ada ujian namun diganti dengan pengumpulan laporan penelitian yang sudah ia kerjakan selama satu semester kebelakang. Kay mengambil flashdisk yang terletak diatas meja belajarnya lalu menyampirkan tas putihnya. Ia melangkah keluar kamar hanya untuk menemukan dorm-nya yang kosong lantas pergi keluar setelah memakai sepatu.

Kampus sangat sepi siang ini, mungkin karena beberapa mahasiswa sudah tidak memiliki jadwal ujian lagi. Tidak seperti kemarin-kemarin, Kay tidak perlu berpakaian super formal dan rapi, karena ia hanya akan mengumpulkan laporan di ruang dosen. Kay pergi ke ruang print yang disediakan jurusannya untuk mencetak laporan sebelum menyerahkannya ke dosen. Ia berpapasan dengan satu orang laki-laki yang tinggi kurus dan berkacamata, Kay tidak mengindahkannya namun ia yakin kalau laki-laki tersebut memerhatikannya.

Continue reading “Play: Side A”

Play: Side B

#track8

‘Cause girl, if you leave me now

If you give it up and just walk right out

You will take the biggest part of me

And all the things that I believe

Baby, if you leave me now

 

 

Asap putih mengepul di udara, sengaja ditiup oleh seorang laki-laki yang tengah duduk di atas sebuah kursi kayu lapuk. Laki-laki bermata tajam yang membiarkan rambut hitam panjangnya tersibak oleh angin. Berada di lantai paling atas dari gedung apartemen yang bertempat di daerah semi-anomali membuat dirinya mau tak mau berteman dengan angin. Ia kembali menghisap sebuatang rokok yang tengah diapit diantara jari tengah dan telunjuk. Laki-laki itu—Sam—mengadahkan kepalanya ke atas. Melihat beberapa gumpalan awan yang perlahan-lahan bergerak diantara birunya langit. Memperhatikan kepulan asap yang perlahan-lahan menghilang diterpa angin. Diam-diam pikirannya melayang.

Sam lagi-lagi kembali memikirkan kejadian tempo hari dimana ia, untuk pertama kalinya, merasa tersinggung dengan sikap Kay. Bukan yang pertama kalinya ia ditolak oleh seorang perempuan, apalagi Kay yang sudah berkali-kali menghindarinya secara terang-terangan. Sam tahu hal itu, dan Sam tidak merasa tersinggung sedikit pun. Namun entah kenapa kemarin Sam merasa kesal, tidak mengerti kenapa dan tidak tahu apa yang membuatnya merasa kesal. Padahal kalau dipikir-pikir, semua yang dikatakan Kay saat itu benar adanya, well, kecuali satu hal.

Lagi-lagi ia menghisap rokoknya sampai habis, menghembuskan kepulan asap putih yang disertai helaan nafas yang cukup panjang. Kembali mengambil satu batang dari kotaknya dan memantik api hingga memunculkan kepulan asap lainnya. Sudah dua jam ia berada di rooftop ini hanya menghisap rokoknya.

Continue reading “Play: Side B”

Play: It’s Not What It Looks Like

#track7

I don’t know what it’s like to be you

I don’t know what it’s like but I’m dying to

If I could put myself in your shoes

Then I know what it’s like to be you

 

 

Semuanya terjadi begitu natural. Sudah beberapa waktu berlalu sejak Kay melihat tempat persembunyian Sam. Setelah kejadian tersebut Kay dan Sam seperti sendok dan garpu, atau pensil dan penghapus, atau sepasang sepatu. Entah bagaimana Sam selalu menemukan Kay yang tengah sendirian entah di perpustakaan jurusan, bangku taman kampus, maupun cafeteria. Dan Kay yang akhirnya sudah tidak canggung lagi di depan Sam maupun teman-temannya, yang sekarang sudah tidak segan untuk menyapa Sam atau sekedar melambaikan tangan apabila berpapasan. Meski pada akhirnya Sam akan menempelkan dirinya pada Kay.

Menjadi sebuah hal yang normal melihat Sam dan Kay berjalan berdua, bersama-sama, bukan hanya Sam atau hanya Kay. Penghuni kampus jurusan Kay seperti sudah terbiasa melihat mereka berdua, tidak seperti saat awal Sam mendekati Kay yang membuatnya diperhatikan secara risih. Kini pemandangan seperti Kay yang tengah membaca buku literature atau mengerjakan tugas di sebuah meja di taman kampus bersamaan dengan Sam duduk di seberangnya masing-masing dengan laptop, atau bagaimana Kay dan Sam selalu menyempatkan untuk makan siang semeja di cafeteria kampus, atau bagaimana Kay menghampiri Sam yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mereka mengerti, dimana ada Sam disitu ada Kay, begitu pula sebaliknya.

Continue reading “Play: It’s Not What It Looks Like”